Wednesday, March 2, 2016

Meluruskan Niat Acara Tahlilan

karena mencari ilmu ngga harus satu bidang

TAHLILAN  


   
    Ada beberapa yang perlu diperhatikan mengenai amalan-amalan yang dikerjakan oleh sebagian kaum muslimin salah satunya yang menjadi pintu gerbang adalah niat. Amalan yang dimaksud ialah mereka yang mengamalkan dzikir bersama seperti tahlilan atau yasinan dll. kadang orang berangkat untuk acara itu bukan semata karena Allah tetapi bergeser niat sedikit saja ditakutkan tidak membawa apa apa selain kesiaan. Perlulah dihadirkan niat karena Allah misalnya niat untuk mendoakan saudara kita yang seiman yang telah mendahului kita kehadirat Allah. Jangan sampailah niat karena takut dicemoh orang, ora kepenak karo tanggane, agar dipuji dll, semua itu kita hilangkan niatkan ibadah karena Allah swt. karena mendoakan saudara kita yang telah meninggal sampai pada si mayit dan hal ini diperbolehkan oleh Nabi saw, sebagaimana seseorang yang datang kepada Nabi saw kemudian menanyakan kalo ia ingin bersedekah untuk orang tuanya yang telah meninggal dan Nabi saw membolehkan.

   Pada hakikatnya majelis tahlil atau tahlilan adalah hanya nama atau sebutan untuk sebuah
acara di dalam berdzikir dan berdoa atau bermunajat bersama. Yaitu berkumpulnya sejumlah
orang untuk berdoa atau bermunajat kepada Allah SWT dengan cara membaca kalimat -
kalimat thayyibah seperti tahmid, takbir, tahlil, tasbih, asma’ul husna, shalawat dan lain -
lain.
Maka sangat jelas bahwa majelis tahlil sama dengan majelis dzikir, hanya istilah atau namanya
saja yang berbeda namun hakikatnya sama. (Tahlil artinya adalah lafadh Laa ilaaha illallah)
lalu bagaimana hukumnya mengadakan acara tahlilan atau dzikir dan berdoa bersama yang
berkaitan dengan acara kematian untuk mendoakan dan memberikan hadiah pahala kepada
orang yang telah meninggal dunia ? Dan apakah hal itu bermanfaat atau tersampaikan bagi
si mayyit ?
Menghadiahkan Fatihah, atau yaasiin, atau dzikir, tahlil, atau shadaqah, atau qadha puasanya
dan lain - lain, itu semua sampai kepada Mayyit, dengan nash yang jelas dalam Shahih Muslim
hadits No.1149, bahwa “seorang wanita bersedekah untuk ibunya yang telah wafat dan
diperbolehkan oleh Rasul saw”, dan adapula riwayat Shahihain Bukhari dan Muslim bahwa
seorang sahabat meng-hajikan untuk ibunya yang telah wafat”, dan Rasulullah saw pun
menghadiahkan Sembelihan Beliau saw saat Idul Adha untuk dirinya dan untuk ummatnya,
“Wahai Allah terimalah sembelihan ini dari Muhammad dan keluarga Muhammad dan dari
Ummat Muhammad” (Shahih Muslim hadits No.1967).
Dan hal ini (pengiriman amal untuk mayyit itu sampai kepada mayyit) merupakan
Jumhur (kesepakatan) ulama seluruh madzhab dan tak ada yang memungkirinya apalagi
mengharamkannya, dan perselisihan pendapat hanya terdapat pada madzhab Imam Syafi’i,
bila si pembaca tak mengucapkan lafadz : “Kuhadiahkan”, atau wahai Allah kuhadiahkan
sedekah ini, atau dzikir ini, atau ayat ini..”, bila hal ini tidak disebutkan maka sebagian
Ulama Syafi’iy mengatakan pahalanya tak sampai.

Jadi tak satupun ulama ikhtilaf dalam sampai atau tidaknya pengiriman amal untuk mayiit,
tapi berikhtilaf adalah pada lafadznya. Demikian pula Ibn Taimiyyah yang menyebutkan 21
hujjah (dua puluh satu dalil) tentang Intifa’ min ‘amalilghair (mendapat manfaat dari amal selainnya). Mengenai ayat : “DAN TIADALAH BAGI SESEORANG KECUALI APA
YANG DIPERBUATNYA, maka Ibn Abbas ra menyatakan bahwa ayat ini telah mansukh
dengan ayat “DAN ORAN ORANG YANG BERIMAN YANG DIIKUTI KETURUNAN
MEREKA DENGAN KEIMANAN”.
Mengenai hadits yang mengatakan bahwa bila wafat keturunan Adam, maka terputuslah
amalnya terkecuali 3 (tiga), Shadaqah Jariyah, Ilmu yang bermanfaat, dan anaknya yang
berdoa untuknya, maka orang – orang lain yang mengirim amal, dzikir dll untuknya ini jelas
– jelas bukanlah amal perbuatan si mayyit, karena Rasulullah saw menjelaskan terputusnya
amal si mayyit, bukan amal orang lain yang dihadiahkan untuk si mayyit, dan juga sebagai
hujjah bahwa Allah memerintahkan di dalam Alqur’an untuk mendoakan orang yang telah
wafat : “WAHAI TUHAN KAMI AMPUNILAH DOSA-DOSA KAMI DAN BAGI
SAUDARA-SAUDARA KAMI YANG MENDAHULUI KAMI DALAM KEIMANAN”,
(QS. Al Hasyr : 10).
Mengenai rangkuman tahlilan itu, tak satupun Ulama dan Imam - Imam yang memungkirinya,
siapa pula yang memungkiri muslimin berkumpul dan berdzikir?, hanya syaitan yang tak
suka dengan dzikir.
Didalam acara Tahlil itu terdapat ucapan Laa ilaah illallah, tasbih, shalawat, ayat qur’an,
dirangkai sedemikian rupa dalam satu paket dengan tujuan agar semua orang awam bisa
mengikutinya dengan mudah, ini sama saja dengan merangkum Alqur’an dalam disket atau
CD, lalu ditambah pula bila ingin ayat Fulani, silahkan Klik awal ayat, bila anda ingin ayat
azab, klik a, ayat rahmat klik b, maka ini semua dibuat - buat untuk mempermudah muslimin
terutama yang awam.
Atau dikumpulkannya hadits Bukhari, Muslim, dan Kutubussittah, Alqur’an dengan Tafsir
Baghawi, Jalalain dan Ilmu Musthalah, Nahwu dll, dalam sebuah CD atau disket, atau
sekumpulan kitab.
Bila mereka melarangnya maka mana dalilnya ? Munculkan satu dalil yang mengharamkan
acara Tahlil?, (acara berkumpulnya muslimin untuk mendoakan yang wafat) tidak di Alqur’an,
tidak pula di Hadits, tidak pula di Qaul Sahabat, tidak pula di kalam Imamulmadzahib, hanya
mereka saja yang mengada ada dari kesempitan pemahamannya.
   Kalo mereka menyatakan bahwa ini adalah bid'ah yang di ada ada maka perhatikan ini,
Sebagaimana pula diriwayatkan bahwa Imam Masjid Quba di zaman Nabi saw, selalu
membaca surat Al Ikhlas pada setiap kali membaca fatihah, maka setelah Fatihah maka
ia membaca Al Ikhlas, lalu surat lainnya, dan ia tak mau meninggalkan surat Al Ikhlas
setiap rakaatnya, ia jadikan Al Ikhlas sama dengan Fatihah hingga selalu berdampingan
disetiap rakaat, maka orang mengadukannya pada Rasul saw, dan ia ditanya oleh Rasul
saw : “Mengapa kau melakukan hal itu?, maka ia menjawab : Aku mencintai surat Al
Ikhlas. Maka Rasul saw bersabda : Cintamu pada surat Al Ikhlas akan membuatmu
masuk sorga” (Shahih Bukhari). dengan demikian boleh saja seseorang membaca ayat ayat Al Quran sesuai dengan yang ia kehendaki dan sebanyak yang ia kehendaki yang itu semua tentu karena Allah mengaharap ridha Allah dengan berkah Al Quran.

Maka tentunya orang itu tak melakukan hal tersebut dari ajaran Rasul saw, ia membuat
buatnya sendiri karena cintanya pada surat Al Ikhlas, maka Rasul saw tak melarangnya
bahkan memujinya.
Kita bisa melihat bagaimana para Huffadh (Huffadh adalah Jamak dari Al hafidh, yaitu
ahli hadits yang telah hafal 100.000 hadits (seratus ribu) hadits berikut sanad dan hukum
matannya) dan para Imam imam mengirim hadiah pada Rasul saw
1. Berkata Imam Alhafidh Al Muhaddits Ali bin Almuwaffiq rahimahullah : “aku 60 kali
melaksanakan haji dengan berjalan kaki, dan kuhadiahkan pahala dari itu 30 haji untuk
Rasulullah saw”.
2. Berkata Al Imam Alhafidh Al Muhaddits Abul Abbas Muhammad bin Ishaq Atssaqafiy
Assiraaj : “aku mengikuti Ali bin Almuwaffiq, aku lakukan 7X haji yang pahalanya untuk
Rasulullah saw dan aku menyembelih Qurban 12.000 ekor untuk Rasulullah saw, dan aku
khatamkan 12.000 kali khatam Alqur’an untuk Rasulullah saw, dan kujadikan seluruh
amalku untuk Rasulullah saw”.
Ia adalah murid dari Imam Bukhari rahimahullah, dan ia menyimpan 70 ribu masalah yang
dijawab oleh Imam Malik, beliau lahir pada 218 H dan wafat pada 313H
3. Berkata Al Imam Al Hafidh Abu Ishaq Almuzakkiy, aku mengikuti Abul Abbas dan aku
haji pula 7X untuk rasulullah saw, dan aku mengkhatamkan Alqur’an 700 kali khatam untuk
Rasulullah saw. (Tarikh Baghdad Juz 12 hal 111).

Rujukan : Habib Mundzir bin Fuad Al Musawa

No comments:

Post a Comment